GERAKAN perlawanan yang dilakukan oleh kelompok Islam maupun kelompok nasionalis, sebenarnya bukan hanya terkait penistaan agama saja. Perlawanan mereka disebabkan oleh hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum akibat "pilih kasihnya" penegakkan hukum di bawah pemerintahan Jokowi.
Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Demikianlah kira-kira stigma yang tertanam di benak masyarakat sekarang ini. Kuatnya intervensi para pemilik modal/korporasi di pemerintahan Jokowi juga menjadi salah satu alasan bersatunya kelompok Islam dan kelompok nasionalis dalam perlawanan terhadap ahok,.
Mereka curiga bahwa Ahok adalah simbol representasi pemilik modal/korporasi/cukong yang sangat arogan, bermulut kasar, kejam, menindas rakyat kecil. Ahok dianggap berani karena dilindungi kelompok "korporasi" yang mengatur kebijakan-kebijakan pemerintah dan berlaku sebagai "dalang" yang bergerak di belakang layar.
Kecurigaan masyarakat terhadap "korporasi" yang memiliki kekuatan yang tak terbatas oleh kelompok Islam dianggap sebagai ancaman bagi islam dan oleh kelompok nasionalis/republican dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan bangsa dan negara.
Kelompok "korporasi" ini dianggap sebagai penyebab tidak berfungsinya lembaga-lembaga negara karena oknum-oknum yang menduduki posisi penting di negara ini sudah "terbeli". Sehingga kelompok "korporasi" ini bisa sesuka hati mengatur para oknum petinggi-petinggi negara yang duduk di Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif.
Diijinkannya Warga Negara Asing memiliki hunian di Indonesia menjadi salah satu contoh dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang diubah, dimana para petinggi negara "mengetok palu" memutuskan konsep peraturan perundang-undangan yang menguntungkan kelompok "korporasi" dan merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.
Ketidakberdayaan rakyat terhadap kondisi yang terjadi sekarang ini, mesti disikapi masyarakat dengan menempuh jalur-jalur hukum, seperti melaporkan orang-orang yang diduga sebagai antek korporasi atau antek-antek asing yang selama ini secara sistematis meniadakan kemampuan eksekutif dalam memerintah.
Orang-orang disekeliling presiden yang merupakan antek korporasi atau asing diduga selalu berupaya untuk mempengaruhi bahkan meniadakan "peran" presiden dalam pengambilan keputusannya.
Makar dalam konteks meniadakan kemampuan presiden dan wakil presiden diatur dalam KUHP pasal 104 yang berbunyi: Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Mari kita kumpulkan bukti sebanyak-banyaknya terkait keterlibatan para antek tersebut, dan melaporkan mereka ke TNI/Polri, Kementerian Pertahanan, BIN dan pihak berwajib lainnya. [rmol]
Bastian P Simanjuntak
(Presiden Gerakan Pribumi Indonesia)