GEDUNG kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tampak tinggi menjulang,
bergaya timur tengah, begitu indah di pandang mata. Di sini mahasiswa
terlihat lalu-lalang mengejar waktu yang memburu. Sebagian masih asyik
bersenda gurau di basement kantin.
Ada yang baca koran, berdiskusi, menyiapkan acara di masing-masing BEM.
Atau sekedar duduk melepas penat. Sedangkan Leni dan Riri asyik
menyeruput jus sirsak pesanan di kantin.
Mahasiswa yang terkenal aktif di BEMJ Bimbingan dan Konseling Islam
(BKI) ini, juga terkenal aktif memburu berita percintaan di kalangan
Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Bahkan majalah kampus pernah ingin
merekrutnya sebagai wartawan, maklum Ratu Gosip.
Ketika ada kabar yang belum tentu kebenarannya, ia justru sudah
mensosialisasikan ke setiap jengkal kampus. Walaupun kerap salah dan
informasinya merugikan orang lain, ia tidak kapok. Ya, namanya berita
kadang benar kadang salah, begitu gumamnya.
Hari ini benar-benar ada berita heboh yang akan menggelegar: seorang
akhwat kedapatan berduaan dengan seorang cowok. Leni yang menyebar kabar
itu. Tak pelak, ia yang begitu mengagumi seniornya ini yang terkenal
cantik dan berkepribadian menarik, langsung luntur dalam bayangan
teladannya.
“Eh Riri, Masya Allah, Gue benar-benar gak nyangka Ri. Ka Ica yang
begitu gua kagumi sosoknya. Ah gua benar-benar gak bisa ngomong, Ri!”
“Slow dong Man…. Slow…, Ada apa Len, kamu mah bikin aku penasaran aja.”
Leni geleng-geleng kepala, mulutnya terasa tertutup rapat untuk menghembuskan barang satu kata pun. “Oh My God..”
“Lho emang kenapa sih Len?”
“Gua harap lo jangan kaget atas apa yang gua lihat tadi?
Riri mengangguk..
“Gua baru aja pengen ke kamar mandi lantai 7.”
“Yang deket Turki Corner itu?” Potong Riri.
“That’s it!! Gua lihat sekilas Kak Ica lagi berduaan sama seorang cowok.”
“Ah biasa aja kali, mungkin ada keperluan kali. Lagipula juga lo lihatnya sekilas,” sanggah Riri tak mudah percaya.
Leni menggebrak meja dengan emosional dan berkata, “Eh masih mending
kalau berduaan aja, ini pake pegang-pegangan tangan! Eh emang gua gak
lihat jelas muka cowoknya, tapi itu tetap cowok!”
“Astaghfirullah aladzim, sumpeh lo?”
Leni mengangguk kecewa.
Keesokan harinya..
Ica yang terkenal berkepribadian santun di seantero UIN Jakarta, sedang
bersiap-siap menuju kampus. Ia keluar dengan mengunci rapat kamar
kosnya. Tasnya sangat berat, di dalamnya terselib buku Majmu Fatawa Ibnu
Taimiyyah.
“Sini aku yang bawa sayang,” ucap seorang cowok berperawakan sedang. Di depan kos mereka, menangkring motor Honda tahun 80an.
“Ah tidak usah, aku aja yang bawa. Kamu langsung balik aja, gak enak nanti dilihat banyak orang.”
“Ya sudah malam minggu, kamu ada di kos kan? Kita ngapel ya?”
“Iya dong say,” belay Ica pada pipi sang cowok berkulit sawo mentah.
“Hmm kita nonton apa ya?”
“Gading-gading Dakwah saja”
“Oke deh..” ucap pasang cowok sambil memakai jaket hitam.
Leni dan Riri yang hobi nonton Detektif Konan, ternyata bersembunyi di
balik rental komputer Ijul, yang terletak tak jauh dari kos Ica.
“Lailahailallah, Laknatullah benar-benar Ukh Ica, ternyata apa katamu benar, Len. Aku gak habis pikir,” kaget Riri.
“Ssssstttt, entar kita ketahuan, lo diam aja dulu. Gua udah siapain kamera untuk merekam ini semua,” gusar Leni.
“Hehe.. gak percuma kamu ikut seminar sehari inteligensi. By the way, kayaknya cowoknya Ikhwan juga?”
“Ah kalo Ikhwan moralnya begitu, sorry lah yau..” tampik Leni.
Di tengah pembicaraan itu, Riri mencoba melongok lebih jauh. Ia ingin
memastikan siapakah gerangan di balik pria yang bersama Ica. Namun tanpa
disadari, kaki kirinya malah menginjak batang kayu reot.
“Guuubbrrraakkk..!!”
Mata Ica spontan mengikuti arah suara yang mengagetkan.
Riri dan Lani panik kalang kabut. Mereka cepat-cepat memepet tubuh hingga balik tembok. Jantung mereka berdegup kencang.
Ica menghampiri sumber suara, radiusnya sekitar 7 meter saja dari kos.
Ia berjalan cepat karena takut ada apa-apa. Bisa saja maling motor yang
marak di Ciputat memanfaatkan kelengagannya. Ia celingak-celinguk.
Matanya terus mendekati tubuh Leni dan Riri yang berlindung di balik
dinding rapuh.
Leni dan Riri sama-sama menahan suara agar tidak kecium Ica. Namun Leni
ingin sekali bersin, karena hidungnya kemasukan debu dari patahan kayu.
Jari Riri sesekali mencubit paha Leni agar berusaha menahan bersinnya.
Ica mendekati ke mereka. Langkah kakinya semakin membuat kedua “detektif” ketakutan.
Riri kencang-kencang mencubit Leni. Kalau cubitan yang ini, murni karena Riri sangat tegang.
Dan…. “Hay kak, lagi ngapain?” Tanya Ijul sang pemilik rental computer depan kos Ica.
“Eh Ijul.. oya gimana ketikan Kakak udah beres?” selidik Ica
“Dikit lagi kak, ini tinggal ngerjain SPSS-nya aja,” jawab Ijul.
“Syukron ya Jul. Oya Jul kakak buru-buru nih mau ke kampus, ada janji sama teman bikin proposal untuk BEM.”
“Tapi entar dulu kak, oya kajian Islam-nya jadi gak entar malam?”
“Insya Allah, kamu sudah dua kali gak ikutan lho, yee… curang”
“Pematerinya siapa kak?
”Ustadz Rahman, sekarang masuk bahasan Ibnu Qayyim Al Jauzi,”
“Insya Allah deh kak dating.”
“ÓK aku tunggu lho, kalau gak aku hipnotis.”
“Hehehe afwan, Kak.”
Leni dan Riri masih bersembunyi di balik tembok. Kaki mereka mulai
gemetaran, Tangan Riri bak diikat, karena sedari tadi menyumpal mulut
Leni. Ketika tubuh Ica menghilang, barulah mereka tenang.
Dan, “Haahaahsssssyyyyyyyyyiiimmmm,” bersin Leni menggelegar.
Hari ini UIN terasa sumpek, hari kamis. Seperti biasa, banyak sekali
seminar dan kegiatan mahasiswa. Stan-stan ramai bergeletak di parkir
Student Centre. Dari mulai menawarkan kegiatan pengisi jiwa seperti
training mahasiswa, jualan bunga lengkap dengan potnya demi menyambut
penghijauan, sampai bazar-bazar buku yang harganya turun abis.
Ica coba mampir. Dengan serius, ia membolak-balik buku Abul Ala al Maududi edisi lama.
Semenit berlalu, gantian ia sambangi temannya yang menjaga stan, Dela
namanya. Dela kebagian menjaga stan TOEFL yang diselenggarakan UKM
Bahasa Flat. Ia terlibat pembicaraan serius. Dari kejauhan, terlihat
Dela berusaha menahan tawa, ia tutup bibir kecilnya dengan tangan.
Senyum menyeringai menyiratkan ada sesuatu kelucuan mendera.
***
Sementara itu di Fakultas, Leni dan Riri berusaha mengejar lift. “Wait…wait..”
“Ih Si Leni buru-buru amat,“ sergah Rangga.
“Eh gua mau ngomong sama lo.”
“Ngomong apa Len.”
“Gawat… ini gawat,”
“Ih Si Leni gawat apanya?” Tanya Rangga, senior kampus yang terkenal alim.
Leni menceritakan panjang lebar kejadian yang membuatnya curiga bahwa
Ica mulai berani bermesraan dengan seorang pria. Baginya, perbuatan Ica
itu mencoreng nama baik fakultas. Ia tidak mau wibawa kampus dirusak
oleh Ica. Apa jadinya kata dunia ada mahasiswi alim di perguruan tinggi
Islam yang kumpul kebo. Lagipula apa jadinya mahasiswi yang populis
sebagai “artis peradaban” tidak tahan terhadap belaian pria.
Rangga didera shock theraphy. Jantungnya bedegup atas cerita Leni. Ia
tidak menyangka, atas tingkah gila Ica tersebut. Leni benar-benar
berhasil menyihir Rangga.
***
Lift sampai lantai 5, seorang mahasiswa masuk. Wajahnya bersih, tampan,
dan berpenampilan rapih. Sontak ia berhadapan dengan Leni yang tepat
berdiri di depan lift. Leni bergeser.
Matanya mulai nakal, ia perhatikan sesekali sang mahasiswa. Dalam hati Leni berkata “Masya Allah cucok juga nih cowok”.
Di sisi lain, isu percintaan Ica sudah menyebar ke seantero kampus. Dari
mulai semester satu, tiga, lima, tujuh, dan sembilan. Bahkan beberapa
dosen kebagian infonya. Ini semata-mata karena Ica memang bak seleb di
kampus. Jadilah informasi cinta Ica pasti laku bak kacang goreng.
Sementara itu, beberapa orang masih penasaran. Mereka mencoba
mengklarifikasi ini Ica, namun HP Ica tidak aktif. Kosnya pun terkunci
rapat dengan dua gembok. Di pintunya tertulis: tak melayani pertanyaan
wartawan!
****
Hari ini Forum Studi Dakwah (Forsid) digelar. Para peserta tumplek ruah
mengisi Ruang 5.01 di lantai 5. Pembicara belum juga kelihatan batang
hidungnya. Namun entah kenapa Leni punya rencana lain, ia datang ke
Forsid untuk memberi bukti skandal. Ia siapkan rekaman itu, apalagi
diskusi Forsid kerap memakai infocus. So, Leni bertekad menyiapkan
kejutan.
Akan tetapi Leni agak kesal, Ica ternyata tidak hadir dalam forum ini.
Beberapa teman-teman juga kecewa Ica tidak datang. Padahal kedatangan
Ica begitu dinanti untuk menjelaskan lelucon dari perbuatannya selama
ini.
Di kursi belakang, bukannya serius untuk mendengarkan diskusi, tapi Leni
malah sibuk memikirkan situasi Kak Ica berada saat ini. Ketika melamun,
pembicara datang dengan mengenakan jas coklat muda. Materi kali ini
tentang Psikologi Dakwah Rasulullah.
Ketika pembicara duduk di depan, sontak Leni tidak mengira, “Oh my God ini kan cowok yang tadi satu lift”.
Leni betul-betul tidak bisa menahan pandangannya. Ia tatap lekat-lekat
wajah pria tampan itu: sejuk, ramah senyum, rapih, dan bersih. “Ah
beruntung sekali wanita yang dipinangnya,” gumam Leni dalam hati.
Ia menelan ludah, ada gurat cinta di hatinya. Yup cinta pada pandangan
pertama. Apalagi saat menjelaskan, tutur bahasa si pemateri enak
didengar. Ah, Leni benar-benar terbuai.
So, untuk melampiaskan kesukaanya, Leni sengaja mencari perhatian dengan bertanya banyak hal!
Kecamuk di hatinya semakin membuncah kala si pemateri menjawabnya
pertanyaannya dengan detail. Leni berpikir dua kali untuk mengumbar
skandal Ica, bisa hancur wibawanya bila dilihat sang pembicara.
Namun sesekali hatinya juga berontak. Ia berpikir, bukankah ini justru
menjadi “dakwah” untuk memberi tahu atau tepatnya memberi pelajaran pada
Ica bahwa caranya salah berhubungan dengan seorang pria. Sekalipun Ica
adalah sosok mahasiswi teladan baginya. Jika tidak diumbar sekarang,
malah akan menjadi boomerang baginya, bahwa ia adalah tukang gosip,
penyebar berita palsu, tukang fitnah.
“Bisa hancur reputasiku,” gumamnya.
Ketika gelaran Forsid selesai dan pembicara izin pamit, Leni menahan teman-temannya untuk tetap duduk di tempat.
“Harap jangan ada yang keluar dari ruangan ini,” desaknya.
Ia siapkan infocus. Leni kemudian berdiri di podium, sekedar menjelaskan
apa yang akan dilihat teman-temannya nanti, murni sebagai rasa cintanya
pada Ica sebagai sesama teman dan sahabat perjuangan.
Tak suka dengan gaya Leni yang terlalu banyak berkata, para mahasiswa
gantian menyibir Leni, “Ya sudah kamu tunjukkan kalau kamu memang tidak
menyebar berita bohong, karena tidak mungkin seorang Ica melakukan
perbuatan nista itu,” sergah Rangga.
“Betul kata Rangga, istighfar Leni, apa yang kamu katakan akan dicatat oleh Allah,” umbar yang lain.
Suasana menjadi tegang, Leni tidak sendirian ada teman-teman lainnya yang akan mem-backup.
“Saya sepakat sama Leni, lebih baik kita buktikan saja siapa yang benar
dan siapa yang salah, ini kan buat kebaikan jurusan kita juga. Kita akan
menarik pelajaran dari ini semua, bahwa kadang tampilan bisa menipu.
Ingat kawan!!” Bela Riri, teman detektif Leni.
“Astaghfirullah, apa maksud kamu Riri?” tanya yang lain.
“Iya saya juga satu suara sama Riri, kita berbicara fakta nanatinya,
bukan memandang karena Ica adalah bidadari di kampus kita, teman
kesayangan kita semua,” seloroh mahasiswa lainnya.
“Sudah.. sudah… langsung saja Leni kamu putar,” perintah Rangga.
Leni tanpa panjang kata mulai memasukkan CD ke Laptop. Dan gambar yang diceritakkan Leni benar-benar menjadi kenyataan.
“Sini aku yang bawa sayang”
“Ah tidak usah, aku aja yang bawa, kamu langsung aja balik, gak enak nanti dilihat banyak orang”
“Ya sudah malam minggu, kamu ada di kos kan? Kita ngapel ya?”
“Iya dong say,” belay Ica pada pipi sang cowok berkulit sawo mentah.
“Hmm kita nonton apa ya?”
“Gading-gading Dakwah saja”
“Oke deh..” ucap pasang cowok sambil memakai jaket hitam.
Semua orang terperangah, “Masya Allah,” ucap Rangga.
“Astaghfirullah,” Ketus yang lain.
“Ahhh”
“Ini gila,” kata Riri.
“Imposibble,” ucap Novi.
Leni mulai buka suara di rerimbun gelengan kepala teman-teman. Rangga
hanya menunduk malu. Novi menangis, ternyata Ica yang rajin dakwah.. Ah
begitu memalukan. Yang lain pun serupa.
“Jelas kan sekarang,” kata Leni dengan suara lantang.
Riri merasa puas. Dia lega kerja kerasnya bareng Leni membuahkan hasil.
“Ini mesti diproses!” keluh Novi kesal.
“Iya ini sudah memalukan kita semua. Kita sudah jatuh. Hanya karena
seorang pria, tega sekali Kak Ica menyakiti kita semua. Ia yang tiap
hari bicara aturan yang seharusnya antara pria dan wanita ternyata
adalah pembohong, munafik. Hhh aku sudah curiga, tidak mungkin seorang
wanita menahan rasa cintanya pada pria yang dicintainya. Persetan dengan
simpan dalam hati,” seruput Leni.
“Afwan, ikhwan yang itu pacar saya!!” suara Ica dari balik tembok, begitu keras menghujam keheningan.
Semua mata terperangah ke arah Ica.
“Siapa yang bilang akhwat gak boleh pacaran?” tantang Ica
Novi yang satu aktivis dakwah dengan Ica menggelengkan kepala, dan hanya
bisa berkata, “Kau sudah berubah Ukh, siapa pria itu? Apa maksud kamu?”
“Iya itu pacar aku Nov,” jawab Ica dengan senyum lebar.
Rangga terlihat bingung. Leni tidak paham.
“Ikhwan yang jadi pembicara tadi itu pacar saya lho.”
“Hehehe betul, aku jadi saksi kok jadian mereka. Wong lagi nembaknya,
Dela yang mengantar ikhwannya,” ucap Dela yang tiba-tiba muncul.
“Mana cowoknya itu?” Kurang ajar betul dia,” gertak Novi.
“Ini lho pacarnya kak Ica, kebetulan ini kakak Dela juga,” Dela menarik sang ikhwan yang kembali masuk ke ruangan.
“Pacaran setelah nikah itu asyik lho. Aku gak takut lagi deket-deket
sama si mas. Ini cincin nikah kita. Sebelumnya saya minta maaf karena
belum sempat memberi tahu teman-teman. Saya tidak mau mengganggu
aktivitas kita sekalian yang sebentar lagi UAS dan tengah sibuk karena
penyelenggaraan penerimaan mahasiswa baru, nah makanya sekarang setelah
semuanya kelar, kita mau mengundang teman-teman sekalian. Ini
undangannya, bagus kan?”
Novi langsung memeluk Ica sambil sesenggukan meneteskan air mata
“Maafkan aku teman sejatiku, aku sudah suudzon padamu, kau yang sangat
kubangga sebagai mahasiswa berprestasi di BKI. Ah subhanallah ternyata
kamu sudah menikah Ca, Allah begitu menyangimu wahai wanita yang baik
budinya. Kamu kemana selama ini Ca, kami semua mencemaskanmu?”
“Afwan Nov, aku sedang honeymoon, gak bisa diganggu. Ini baru pulang dari Gunung Sindur, biasa pengantin baru ada aja maunya.”
“Ih resek,” cubit Novi di pipi Ica.
“Makanya cepat nikah dong, Si Aa mau dikemanain teh?” gantian Ica yang menyubit pipi Novi.
“Si Aa siapa?” Novi balik menginjak kaki Ica.
“Aa Aa A… Ada dehhh,” canda Ica yang membuat Novi memunculkan senyuman manisnya.
Rangga lega, walau sedikit menyesal karena telat melamar. Akan tetapi,
sebagai pria berpikiran dewasa, ia ikhlas karena Allah pasti memberi
yang terbaik jika hambanya bertakwa. Begitulah Islam mengajarkan. Semua
orang kini menyami Ica dan sang pacar.
Lalu bagaimana nasib Leni? Dengkulnya langsung lemas. Ia tergeletak
pingsan karena shock. Sang pujaan ternyata sudah sah menjadi milik Ica.
Keburukan dibalas kebaikan, sekarang giliran Ica yang sibuk mengurusi
Leni agar cepat siuman.