-->

Wednesday, December 7, 2016

Obsesi Surya Paloh, Tersandung Di Monas

MENJELANG hari-hari terakhir saya di Media Indonesia Group tahun 1999, Surya Paloh bertanya apakah mungkin dia mendirikan sebuah stasiun televisi setara CNN. Dilanjutkan pertanyaan bagaimana menghubungkannya dengan Ted Turner, pendiri CNN?


Surya Paloh bertanya demikian, karena saat itu, 17 tahun lalu, reputasinya sebagai pemilik media, belum terlalu diperhitungkan. Sangat jauh berbeda dengan situasi seperti di tahun 2016 ini. Di dunia politik juga kurang lebih demikian.

Kebetulan, Ian MacIntosch, wartawan Australia yang bekerja bagi Ted Turner, saya cukup kenal. Saat itu Ian menjabat Vice President CNN Asia Pacific yang berkedudukan di Hong Kong. Pertanyaan Surya Paloh (SP) itu pun saya teruskan ke Ian.

Sesudah keluar dari Media Group, saya hanya mendengar dari Lisa Luhur, Sekertarisnya SP, bahwa SP sudah ke Atlanta, kantor pusat CNN International di Amerika.

Tapi Lisa tidak bisa menjelaskan apakah terjadi kesepakatan bisnis antara SP dengan Ted Turner atau bagaimana?

Yang pasti hingga saat di usianya yang ke-16, Metro TV bukanlah stasiun televisi berita seperti CNN.

Namun yang saya tangkap dari bahasa tubuh SP, cukup jelas. SP punya obsesi untuk menjadi Ted Turner-nya Indonesia.

Sementara itu, karena SP sudah punya media cetak, SP ingin menjadi seperti Ruppert Murdoch, raja koran asal Australia yang menjadi warga negara Amerika.

Jadi SP dalam perspektif kerennya adalah ingin menjadi "two in one" nya konglomerasi media di Indonesia.

Sekalipun tidak diucapkan secara eksplisit, tapi cara SP berpikir, bisa dimengerti. Yaitu ingin menjadi pemilik media, yang bisa membentuk opini publik sesuai agendanya. Dengan begitu, SP bisa mengontrol kekuasaan, siapapun yang berkuasa.

Bagi SP menjadi pengontrol kekuasaan, jauh lebih efektif dan strategis ketimbang menjadi penguasa. Dan nampaknya status seperti ini yang dimainkan SP.

Pemahaman saya ini bisa keliru. Karena pemahaman ini berangkat dari situasi yang sudah terlalu lama.

Tapi sebagai wartawan yang pernah menjadi bagian awal dari tim pendiri konglomerasi bisnis medianya, sangat sering gagasan dan wawasan ataupun obsesinya itu dia sampaikan.

Semuanya menjadi sangat menarik, sebab saat itu kami berada dalam kehidupan pers yang represif. Nyaris tak punya kebebasan.

Di saat represif, di zaman Orde Baru pun, SP sudah punya konsep dan pandangan yang selalu berbeda dengan kebanyakan. SP suka melawan arus dan menantang badai.

Tetapi pada sisi lain, saya juga merasakan, untuk menerjemahkan obsesinya itu, sekalipun di era rezim demokratis, tidak gampang.

Mengawal obsesinya itu, kendala pertamanya langsung bertemu dengan ketersediaan tenaga profesional atau sumber daya manusia. Sementara SP tidak punya waktu menyiapkan SDM.

Dalam keterbatasan SDM yang betul-betul memahami obsesi SP, lalu situasi inilah yang menghasilkan sebuah stasiunTV berita Metro TV.

Tanpa disadari, keadaan seperi itulah yang saya duga menjadi penyebab, mengapa Metro TV akhirnya bermasalah dengan peserta Demo Aksi Super Damai 212. Obsesi SP sebagai pemilik media, tersandung di Monas.

Kru Metro TV yang meliput di aksi damai di Monas, ditolak oleh sejumlah anak muda berpakaian gamis.

Penolakan mana sama dengan mengabaikan peran dan perjuangan SP di dunia demokrasi. Penolakan mana sama dengan menghalangi pers dalam bekerja.

Tidak bermaksud mendegradasi kualitas manajemen SDM Metro TV. Tetapi sekali lagi saya menduga terjadinya penolakan terhadap para awak medianya, tidak berdiri sendiri. Semua ada sejarahnya dan saling terkait dan berkaitan.

Manajemen dan kru pemberitaan tetap menganggap bahwa Metro TV adalah stasiun televisi berita seperti CNN.

Dengan anggapan itu, maka kru pun beranalogi, Metro TV bisa meliput dimana saja. Sama seperti yang dilakukan CNN International. Bisa hadir di mana saja di belahan dunia ini.

Metro TV juga begitu. Apalagi cuma di Indonesia, di tanah air sendiri. Jadi Metro TV juga bebas meliput Aksi Super Damai di Monas.

Yang lepas dari perhatian, kru CNN yang dilepas oleh Ted Turner, tidak sama dengan kru Metro TV yang dibackingi SP.

Apalagi kalau mengambil contoh bagaimana CNN meliput demo, konflik atau perang.

Di tahun 1988, misalnya Amerika Serikat terlibat perang dengan Irak. Menariknya, sekalipun AS dan Irak terlibat peperangan, tetapi wartawan CNN yang berkewarga negaraan Amerika, tetap bisa meliput di Irak. Bagdad ibukota Irak, tak berbeda dengan Washington, ibukota AS.

Peter Arnett, seorang wartawan senior CNN berkebangsaan AS, sewaktu meliput perang Irak-AS dengan berbasis di Irak, justru disambut sangat hangat oleh masyarakat Irak termasuk Presiden Saddam Husein. Tidak ada penolakan dari Irak terhadap wartawan yang berasal dari negara musuh.

Kontras dengan yang terjadi dalam peliputan Aksi Super Damai 212. Kru Metro TV yang mau meliput aksi damai, justru ditolak. Yang menolak dan yang ditolak, sama-sama berasal dari satu negara; Indonesia.

Mengapa kontradiksi ini bisa terjadi?

Ada yang lupa sebelum Peter Arnett terbang ke Bagdad, lobi-lobi untuk meyakinkan pemerintah Irak, sudah dilakukan melalui berbagai pintu. Lobi dilakukan tidak hanya oleh level pemilik (Ted Turner). Tetapi juga termasuk para eksekutif dan produser.

Sehingga ketika Peter Arnett menyiarkan situasi Irak ke pemirsa di seluruh dunia, laporannya itu tidak menimbulkan persoalan.

Sebetulnya kalau dicermati, apa yang dilaporkan oleh Peter Arnett hanya bersifat umum.

Yang membuat CNN diterima oleh publik baik di Irak maupun di Amerika, manakala media ini bisa menampilkan gambar tentara AS yang tertawan.

Nama CNN semakin melambung, karena kamera person CNN bisa merekam suasana dimana Presiden Saddam Husein memperlakukan para tawanannya dengan cara yang terhormat.

Saddam Husein bertegur sapa dengan tawanan marinir AS dalam sikap yang menunjukkan tingkat kepeduliannya terhadap anak muda, sangat tinggi.

Disamping itu, Peter Arnett dalam setiap kali laporannya yang "live", ia betul-betul memperhitungkan setiap kosa kota yang diucapkannya. Ucapannya tidak terbata-bata, jelas menunjukkan dia menguasai lapangan dan sedang tidak melakukan "show" pribadi.

Karena yang penting yang mau dipetik oleh CNN di Atlanta, bahwa CNN bisa hadir di daerah peperangan.

Artinya faktor kehadiran menjadi jauh lebih penting ketimbang substansi yang dilaporkan.

Bagaimana dengan Metro TV?

Sebetulnnya penolakan oleh sejumlah kelompok Islam, bukan muncul tanpa sebab. Penolakan itu tidak berdiri sendiri.

Jauh sebelum Aksi Super Damai 212, secara tidak resmi sudah ada benih-benih ketidak sukaan terhadap Metro TV. Hal ini dipicu atau dipengaruhi oleh sebuah viral yang menuduh kebijakan redaksional Metro TV ditentukan oleh wartawan yang beragama Kristen. Lalu muncul tudingan, penentu kebijakan inilah yang membuat liputan Metro TV banyak yang merugikan umat Islam.

SP sebagai pemilik, dalam tudingan itu dikesankan hanya simbol saja. Selain itu, kepemilikan Metro TV sebetulnya sudah beralih ke Lippo Group dengan taipannya James Riady.

Jelas tudingan ini sebuah masalah yang sensitif. Sayangnya, masalah sensitif ini tidak pernah ditanggapi oleh Metro TV secara serius dan bersifat korporat.

Bahkan beberapa twitter yang diposting ulang, ada sejumlah karyawan Metro TV yang membalas tudingan tersebut dengan cara yang justru tidak tepat. Memancing emosi.

Tidak pernah terdengar ada pertemuan antara pimpinan Metro TV dengan pihak-pihak yang menyebarkan viral tersebut. Apalagi antara SP dengan pihak yang mewacanakan memboikot Metro TV.

Ketidak hadiran SP semakin dipersoalkan. Sebab untuk urusan seperti pelepasan wartawatinya Meutia Hafid yang disandera pejuang Irak, SP turun tangan langsung.

Sementara dalam soal persinggungan Metro TV dengan mereka yang menamakan mewakili kelompok Islam, SP tidak menunjukan kepeduliannya.

Dan ketika persoalan yang tidak terselesaikan ini masih menggantung, terjadilah peliputan Aksi Super Damai 212, aksi mana semangat Islaminya sangat kuat.

Pimpinan Metro TV yang tidak melakukan lobi-lobi intensif, semakin dilihat sebagai konglomerasi yang tidak punya kepedulian.

Sesungguhnya kejadian yang menimpa Metro TV merupakan sebuah ironi.

Sebab bagaimana mungkin, SP sebagai pemilik yang beragama Islam, tapi medianya justru dianggap sebagai penyebar berita yang bertentangan dengan kepentingan Islam.

SP menjadi tersandung jadinya.(rmol)

Previous
Next Post »